Selasa, 23 Februari 2016

PINNED POST - Readme


FOR MY BELOVED READER (ALL OF GLENNDENVER'S READERS)
I make this blog to be filled with important stories, informations, knowledges, and messages. If you want to suggest a story or something to be shared on this blog, you can write on the comments part. I would like to help you gladly to make your suggestion come true and I would like to appreciate you if you want to give your comments on the comment column below the posts. Thank you.

P.S. If I don't post an entry for several days, that means I'm still busy to develop a blog for Community of Sant'Egidio Bandung.

Blog: santegidiobdg.wordpress.com
Twitter: @SantEgidioBdg
Facebook: Public Group "Komunitas Sant'Egidio Bandung"

UNTUK ANDA YANG SAYA CINTAI (SELURUH PEMBACA BLOG GLENNDENVER)
Blog ini saya ciptakan untuk diisi banyak hal penting, seperti cerita pengalaman saya dan pengetahuan di dalam beberapa bidang. Apabila Anda ingin mengusulkan suatu tema artikel untuk dimasukkan ke dalam glenndenver.blogspot.co.id, anda dapat mengomentari posting ini dengan memberikan tema artikel yang diinginkan. Dengan senang hati saya berusaha untuk membantu mencurahkan ide anda demi pengembangan blog ini. Saya akan sangat senang apabila Anda mengisi kolom komentar di bagian bawah artikel. Terima kasih.

Catatan. Jika saya tidak menulis suatu entri untuk beberapa hari, itu dapat berarti bahwa saya sedang sibuk mengembangkan blog Komunitas Sant'Egidio Bandung.

Blog: santegidiobdg.wordpress.com
Twitter: @SantEgidioBdg
Facebook: Grup Publik "Komunitas Sant'Egidio Bandung"

Jumat, 19 Februari 2016

Resume Kegiatan Komunitas Sant'Egidio "Kegembiraan Injil di Indonesia"

Berikut ini adalah resume yang saya buat mengenai Kegiatan Komunitas Sant'Egidio seluruh Indonesia yang diadakan di Jakarta, 12-15 November 2015.

Kebahagiaan Injil adalah memberikan kebahagiaan pada orang lain. Kebahagiaan harus dibagikan kepada orang yang membutuhkan.”(Andrea Riccardi, pendiri Komunitas Sant’Egidio)

Banyak orang Katolik, terutama di Indonesia, yang belum pernah mengetahui keberadaan komunitas Sant’Egidio. Hal itu cukup wajar bagi kami, karena kami pun baru mengenal komunitas ini beberapa bulan yang lalu. Komunitas Sant’Egidio adalah komunitas yang dibentuk pada tahun oleh Andrea Riccardi, seorang professor sejarah kontemporer Italia, yang telah diakui oleh Gereja Katolik sebagai komunitas pelayanan.
Pada tahun 1968, seorang remaja bernama Andrea Riccardi mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan teman-teman untuk mendengarkan dan melaksanakan Injil, mengacu pada kehidupan komunitas Kristen pertama dan kehidupan Santo Fransiskus Asisi. Kemudian kelompok pemuda ini mulai mengunjungi barak-barak di pinggiran Roma, Italia, dan membangun sekolah damai untuk mengajar anak-anak di sore hari. Sejak saat itu komunitas pun mulai berkembang menjadi beranggotakan 50.000 orang di 70 negara, termasuk di Indonesia.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan komunitas ini adalah berdoa, membaca kitab suci, pelayanan terhadap orang yang membutuhkan, komitmen pada ekumenisme, dan melakukan forum dialog antar agama. Orang yang tidak mampu secara finansial menjadi pusat pelayanan komunitas ini.
Dalam melahirkan semangat baru kembali bagi Komunitas Sant’Egidio di Indonesia, maka dibentuklah acara bertajuk “Kegembiraan Injil di Indonesia” pada 12-15 November 2015, yang diikuti oleh anggota-anggota komunitas yang berasal dari berbagai tempat di Indonesia. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Andrea Riccardi, yang terakhir datang ke Indonesia pada tahun 1999 dalam rangka pembentukan Komunitas Sant’Egidio di Padang. Kedatangan Andrea Riccardi pada tanggal 13 November di Aula SMP Santa Maria Jakarta disambut dengan meriah oleh setiap anggota dengan menyanyikan lagu Hymne Komunitas.
Dalam penuturannya, Andrea mengatakan bahwa semua orang adalah murid “Sekolah Yesus”. Oleh karena itu, hendaknya kita rajin untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan berdoa setiap hari. Andrea menganalogikan setiap pribadi manusia yang memikirkan diri sendiri sebagai “pulau yang terpencil”. Komunitas memiliki peran sebagai “jembatan” untuk menghubungkan “pulau-pulau” tersebut. Dalam Matius 10:39-40, dikatakan “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” Melalui injil ini, Tuhan ingin menyampaikan kepada kita untuk tidak memikirkan diri sendiri, namun bersama-sama membangun “jembatan” yang menghubungkan “pulau-pulau”. memberikan ruang terhadap diri sendiri dan orang lain, termasuk orang-orang yang tidak mampu. Inilah yang harus menjadi dasar misi Injil komunitas. Meskipun perjuangan tersebut cukup berat, hendaknya kita tetap patuh kepada Allah dan meyakini bahwa usaha ini akan berhasil pada waktunya. Hal yang ditekankan oleh Andrea adalah bahwa kebahagiaan tidak mungkin dimiliki oleh diri sendiri, namun ia akan berbuah jika dibagikan kepada orang lain.
Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa orang yang tidak mampu adalah sakramen Kristus, di mana Yesus hadir melalui wajah mereka. Hendaknya kita menjunjung prinsip kesetaraan, misalnya dengan memanggil nama mereka.
Kita semua hendaknya memiliki peran nyata di masyarakat dalam membagikan damai, membangun kehidupan doa, dan menjalin persahabatan dengan orang lain sebagai suatu pekerjaan. Damai, menurut Andrea, memiliki arti hidup bersama orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Jangan pernah melibatkan senjata fisik dalam menyelesaikan permasalahan dunia, karena kita telah mempunyai doa sebagai “senjata yang menghidupkan”.
Selanjutnya, pada hari Sabtu, 14 November 2015, dalam meneguhkan peran menghidupkan dialog antara agama, Komunitas Sant’Egidio bersama dengan Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) dan MPR-RI mengadakan forum bertajuk “Interfaith Dialogue For Peace And Coexistence” yang diselenggarkan di Gedung Nusantara V Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh Pendiri Komunitas Sant’Egidio, Andrea Riccardi, Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin. Selain itu turut hadir beberapa tokoh agama diantaranya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni (PP Muhammadiyah), Uung Sendana (Matakin), Dr. Albertus Putti (PGI), Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja (Walubi), Nyoman Udayana Sangging (PHDI), dan Romo Agus (KWI).
Andrea Riccardi, melalui pidatonya, mengungkapkan rasa kagumnya terhadap Indonesia terutama bahwa negara ini mampu melalui krisis-krisis menyangkut agama melalui Ideologi Pancasila. Pada saat ini sering terjadi aksi terorisme sering mengatasnamakan agama, namun kenyataannya terorisme adalah ideologi yang menghina nama Allah. Agama adalah sumber damai, sehingga terorisme harus disingkirkan dari nama agama, misalnya melalui dialog antar agama. Selain itu, Andrea juga menekankan penolakan hukuman mati dan perang, karena tidak ada agama yang mendukung pembunuhan sebagai metode pembentukan damai. Perang adalah induk dari kemiskinan, sedangkan damai adalah induk dari perkembangan. Dialog tidak hanya dalam bentuk diskusi semata, namun merupakan sebuah proses yang membutuhkan kesetiaan dan teman seperjalanan, sehingga keberadaannya penting dan akan terus dilakukan. Melalui diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam ini, dapat disimpulkan bahwa:
  • Pemuka agama mempunyai peran untuk memberikan pemahaman tentang dialog antar-agama
  • Dialog dapat disebarluaskan melalui keluarga
  • Dialog berperan sebagai kerjasama konkret dalam pemuliaan bumi.
(Sumber pustaka: santegidio.org)

Minggu, 31 Januari 2016

Story: Seblak

ENGLISH VERSION



I have not known this kind of food until I was graduated from Senior High School and move to Bandung. 

Seblak is one of the most well-known food in Bandung, made from crackers (kerupuk), noodle, or macaroni as the main ingredient. From the history, many people said that Bandung is not the origin of seblak, because this food is famous in 2000s. They said that the origin of Seblak may come from Sumpiuh, Banyumas, because of the similarity with Krupuk Godog (boiled crackers) that has been popular since 1940s.

The way to cook the ingredients is by soak them into the hot water/boiled water. For your information, kerupuk is a famous snack in parts of Southeast Asia, but closely associated to Indonesia. I think this kinda weird-but-special food because almost all kerupuk in Indonesia was fried, not soaked in hot water. As the result, kerupuk that cooked as seblak has soft texture.

Another important ingredients is chili. Almost entire of Indonesian like to eat spicy food, so seblak is also being well-known because of its spiciness. For some occasions, you can find some products that show levels of spiciness of food. Some Indonesians think that the spicier food they eat makes them pride of themself without thinking too much about the possible consequences, such as diarrhea. Just be careful, right!

Beside the main ingredients and seasoning, you can add some mustards, eggs, even bones into seblak. Then, just pour all ingredients and seasoning and serve it. (That's not kind of Indonesian food if it was not flavoured with some seasoning, such as garlic, onions, salt, kencur, etc. For your information, the foods in Indonesia has weaker flavour than Indian cuisine, so many foods from Indonesia are suitable for some foreigners or tourists that come to Indonesia. Do you want some proof? Just remember the poll from CNN that show Rendang (steamed beef from Padang, Indonesia) as the most delicious food in the world and followed with other Indonesian cuisines.)

So, if you want to eat seblak, just come to Bandung, because many street vendors or shops sell it with affordable price and many interesting variations.

VERSI BAHASA INDONESIA


Saya belum pernah mengetahui jenis makanan ini sampai saya lulus dari SMA dan melanjutkan kuliah di Bandung. 

Seblak adalah makanan yang sangat terkenal di Bandung, terbuat dari kerupuk, mie, atau makaroni sebagai bahan utama. Berdasarkan sejarah, banyak orang berkata bahwa seblak bukan berasal dari Bandung, namun berasal dari Sumpiuh, Banyumas. Latar belakang dari pernyataan tersebut adalah bahwa seblak baru terkenal pada tahun 2000an, sedangkan krupuk godog (kerupuk rebus) yang berasal dari Sumpiuh tersebut sudah terkenal sejak tahun 1940.

Cara memasak bahan utama tersebut adalah dengan merendamnya ke dalam air panas. Tentu saja kita mengetahui bahwa kerupuk adalah makanan favorit khas Asia Tenggara, khususnya Indonesia, yang dimasak dengan cara digoreng, sehingga mungkin akan terkesan aneh bahwa ada kerupuk yang dimasak dengan cara direndam. Sebagai hasilnya, seblak memiliki tekstur yang lembut.

Bahan makanan penting lainnya adalah cabe. Hampir seluruh rakyat Indonesia suka memakan masakan yang pedas, sehingga seblak juga terkenal akan kepedasannya. Untuk beberapa kesempatan, Anda dapat menemukan produk-produk makanan Indonesia dengan level kepedasan. Beberapa orang berpikir bahwa semakin pedas makanan yang mereka makan adalah suatu kebanggaan bagi mereka. Lebih parahnya mereka tidak terlalu memikirkan konsekuensi apa yang terjadi, seperti sakit diare. Hati-hati ya! Hehehehehe

Selain bahan-bahan tersebut, Anda juga dapat menambahkan sawi, telur, bahkan tulang ke dalam seblak. Kemudian, aduk seluruh bahan tersebut dan sajikan. (Bukanlah makanan Indonesia apabila tidak disajikan dengan bumbu seperti bawang putih, bawang merah, garam, kencur, dan lain-lain. Sebagai informasi, makanan di Indonesia tidak dibumbui sekuat masakan India, sehingga masakan Indonesia memiliki kecenderungan lebih cocok untuk orang luar negeri atau turis. Sebagai buktinya, ingatlah bahwa rendang mendapat predikat jadi "makanan paling lezat di seluruh dunia" berdasarkan polling dari CNN, yang kemudian diikuti dengan beberapa masakan Indonesia lainnya.)

Jadi, bila Anda ingin mencicipi lezatnya seblak, datang ke Bandung, karena banyak pedagang kaki lima ataupun toko yang menjual masakan seblak dengan berbagai variasi dan tentunya dengan harga yang sangat terjangkau.

Source: wikipedia.org with some addition, noshon.it, tasteasianfood.com

Sabtu, 30 Januari 2016

Cerita: Kelas X-8 Smanssa Periode 2011-2012

9 Juli 2011

Tanggal itu akan selalu kuingat
Ketika pertama kali menjadi seorang siswa SMA
Ketika sebuah kisah manis tiga tahun dimulai
Meskipun harus datang terlambat dua jam
Aku menyaksikan orang-orang yang akan menjadi keluargaku
Untuk satu tahun ke depan

MOS dan MPO kita jalani bersama
Di antara hiasan serba kuning yang aneh-aneh
Kita torehkan rangkaian cerita
Dalam sebuah nama Udel Bodong
Sepuluh Delapan Bocahe Do Ra Ngah-ngoh

Tawa canda menggema di antara kartu UNO
Tawa ceria tanpa diiringi gelisah berarti
Kecuali saat pelajaran sejarah
Dimana sejarah tidak ditulis di pohon tauge
Ataupun pada pelajaran akuntansi
Dimana ada ulangan dadakan di siang hari

Tawa canda begitu mudah terbentuk
Ketika seorang siswi menjawab pertanyaan
Gurunya hanya bilang "Siapa... yang nanya?"
Atau ketika gurunya bercerita lelucon 
Tetapi semua murid terpaku diam
Kemudian beliau berkata "Ndak lucu ya?"
Dan kita pun tertawa

Satu tahun pun berlalu
Saat kita beranjak menjadi anak kelas sebelas
Betapa sedih bahwa kita harus berpisah 
Terpisah dalam berbagai kelas dan jurusan

Cerita pun tak berhenti di situ
Ketika ibu kita mendapatkan perlakuan yang tidak adil
Perlakuan atas dasar hal yang tidak pernah beliau lakukan
Kita kembali bersatu membela beliau

Kini pun kita semakin berpisah
Belajar untuk menggapai mimpi indah
Namun satu hal yang pasti
Kalian akan membuatku selalu rindu

(Bandung, 30 Januari 2016)

Tambahan
Daftar siswa-siswi kelas X-8 SMA Negeri 1 Salatiga Periode 2011-2012
1. Achmad Fikri Syarif
2. Agnes Age Marsilia
3. Agung Nugroho
4. Ailsa Devina Rosahada
5. Akhila Apratima Martha
6. --This Blogspot Administrator--
7. Andreas Bayu Anggara
8. Danni Wahyudi Manta
9. Dhenny Wahyu Sri Astuti
10. Dinda Rosyia Wibawanty
11. Dwinda Sekar Andrea
12. Fara Alicia Dienswari
13. Firdha Amelia Tryastuti
14. Florentia Eveline Revita Kusumaningtyas
15. Gracezelda Vivianli
16. Hana Anggraheni
17. Hendrikus Sivan Chrissa Zebua
18. Inna Zulfa Kurniawati
19. Ishug Putri Setia
20. Isti Wijayanti
21. Iwan Fatoni
22. Kurniawan Bangkit Prabowo
23. Mega Fatma Septiani
24. Meiza Dwihestiarini
25. Mentari Cahyaningtyas
26. Mochamad Sadheli
27. Mutiara Putri Pratiwi
28. Nindya Pramatyaswari
29. Raih Sukma Prasiswi
30. Sarah Pratiwi
31. Wildan Haryanto Muhammad Putra
32. Wisnu Christiawan
Wali kelas: Ibu Kristien Helly Tambotoh, ibu kami, sang guru Fisika

Rabu, 27 Januari 2016

Cerita: Mbah Darmiyanto, Pejuang Dua Lintasan Dari Salatiga

Tidak hanya Adi Sucipto, Yos Sudarso, Rudy Salam, dan Roy Marten yang menjadi orang kebanggaan Kota Salatiga ataupun kebanggaan Indonesia. Masih ada lagi yang lain, atau mungkin ada salah satu yang berada di sekitar Anda.

Pada saat saya masih menempuh pendidikan SMA di Kota Salatiga, orangtua saya sering mengajak saya ke perempatan Jalan Jenderal Sudirman dengan Jalan Pemotongan dan Jalan Taman Pahlawan (di dekat Pasar Raya I). Kemudian orangtua saya berhenti di depan sebuah becak yang didalamnya terdapat seorang kakek yang masih terlihat segar bugar, mengenakan kaos dan celana olahraga, serta melilitkan handuk di leher. Bapak saya kemudian memberikan sesuatu, yang kemudian disambut dengan senyuman tulus kakek ini. Awalnya saya kurang begitu peduli dengan situasi dan kondisi ini. Saya berpikir mungkin kakek ini dulunya pernah menolong orangtua saya yang sedang dalam kesulitan.

Karena kejadian ini terus berulang, saya bertanya kepada bapak saya (yang saya panggil Pak.e), "Pak.e, mbah itu siapa, tho? Kok Pak.e sering mampir ke situ?" Kemudian Pak.e menjawab "Itu mbah yang dulu seorang pelari nasional, lho!" Saya pun kaget. Terdiam. Pikiran saya kembali kepada beberapa atlet olahraga yang dulunya telah mendapatkan banyak medali dan mengharumkan nama Indonesia, ataupun seorang veteran pejuang kemerdekaan Indonesia, namun saat ini tidak ada orang yang mengenalnya sama sekali, bahkan kehidupannya kurang terjamin. Sungguh, mereka adalah pahlawan juga!

Akan tetapi pada saat itu saya belum tahu siapakah nama sebenarnya dari atlet kebanggaan Salatiga tersebut, hingga akhirnya saya membaca sebuah buku tentang biografi orang-orang Salatiga di Selasar Baca Kota Salatiga, dan saya mulai mengetahui kisah perjuangan beliau. Beliau bernama Mbah Darmiyanto.

Berikut adalah kutipan cerita dari buku Orang-orang Terkenal dari Salatiga.




Menurut saya ada beberapa hal yang patut kita contoh dari beliau, antara lain:
1. Kerendahan hati. Beliau tidak pernah memamerkan medali, apalagi memasangkan medali yang mentereng di becak beliau
2. Kerja keras. Beliau tidak pernah  berpuas diri dengan medali yang ada, namun juga tetap berlatih lari dan mengikuti lomba untuk para veteran.
3. Percaya bahwa selalu ada kesempatan untuk menang
4. Komitmen. Untuk berlari setiap hari tidak mudah bagi setiap orang, termasuk saya.
5. Semangat untuk menjalani hidup

Apakah pemerintah tidak memperhatikan orang-orang seperti beliau? Saya sendiri tidak tahu dan tidak mau berspekulasi tentang hal ini. Akan tetapi ada satu hal yang ingin saya sampaikan, yaitu marilah kita menghargai usaha dan perjuangan yang telah beliau lakukan untuk mengharumkan negeri ini dengan tindakan nyata. Mungkin kita bisa memberikan sesuatu penghargaan kepada beliau. Apapun penghargaan yang telah kita berikan, beliau akan terima dengan sukacita. Semoga sedikit cerita ini bisa menginspirasi Anda. 

Catatan
1. Mohon maaf mungkin ada kalimat yang sedikit lancang/sombong atau ingin pamer, namun saya tidak pernah bermaksud seperti itu. Tujuan saya hanya sebatas mensharingkan agar kita semua sadar akan keberadaan orang di sekitar kita.
2. Apabila bertemu dengan Mbah Darmin, Anda bisa memberitahukan kondisi beliau di kolom komentar.
3. Selamat dan semangat untuk menjalani hidup!

Senin, 25 Januari 2016

Cerita: Natalan di Gereja Banteng dan Kegiatan Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta - Part 4 (Last)

Tidak hanya berhenti di situ saja. Ternyata masih ada makan siang lanjutan.


"Hari ini kita nyatakan
Tuk yang cari arti hidup
Dimana lebih manusiawi
Selalu bersama dengan Dia"
(Hymne Komunitas Sant'Egidio)

Kak Siska (sahabat komunitas Sant'Egidio Jogjakarta) berkata kepada kami bahwa Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta mengadakan Makan Siang Natal (MSN) yang kedua pada tanggal 31 Desember 2015. Ya, akhir tahun. Tempatnya pun tidak tanggung-tanggung dan spesial. Mungkin Anda masih ingat Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman dan kasus penyerangan pada bulan Maret 2013. Tetapi saya di sini tidak ingin menceritakan masa lalu tersebut. Saya ingin membagikan pengalaman kepada para pembaca mengenai MSN di Cebongan. MSN di Lapas Cebongan ini adalah yang kedua kalinya, yang pertama diselenggarakan tahun 2013.

Menjemput Kemanusiaan
Jika diajak berpikir tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka yang terlintas di pikirannya mungkin adalah tidak nyaman, berbahaya, keamanan sangat ketat, tempat yang sangat ingin dihindari, dan lain-lain. Gambaran-gambaran ini sebagian ada yang benar, namun juga ada yang salah. Saya ingin menceritakan bahwa tidak selamanya lapas adalah hal yang harus dihindari (bukan dalam arti berbuat kejahatan - jelas bahwa kita harus menghindari berbuat jahat supaya tidak masuk lapas), karena lapas sebenarnya adalah tempat untuk memanusiakan manusia, tempat untuk mengembalikan orang yang telah terjebak dalam dunia kejahatan agar nanti ia tidak akan kembali terjerumus kembali. 

Jika diusut kembali, sebenarnya para warga binaan selalu menginginkan adanya interaksi dengan warga di luar lapas. Hal itu sangat wajar karena bagaimanapun berada di dalam lapas membuat orang terkungkung dari dunia luar. Saya mempunyai harapan agar banyak orang mau untuk sering berkunjung ke dalam lapas dan mau berinteraksi dengan mereka. Menemui warga binaan akan membuat mereka merasa masih dirindukan orang-orang di luar dan membuat mereka menilai diri sendiri tetap berharga. Inilah yang sebenarnya bisa kita lakukan sebagai warga sipil yang baik, yang lebih senang saya sebut sebagai menjemput kemanusiaan.

31 Desember 2015
Masuk Ke Dalam Lapas
Jam 06.30, saya dan orangtua berangkat menuju Jogjakarta. Kali ini sahabat saya, Anggi, memutuskan tidak ikut. Kami tiba di Cebongan pada pukul 08.15, dan menunggu kehadiran sahabat Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta selama satu jam. Sembari menunggu, saya menemani orangtua untuk makan di sebuah kantin yang berada di dalam kompleks Lapas. Selanjutnya, setelah mereka datang (tidak banyak yang datang, hanya sekitar 20 orang), sekitar pukul 09.15, kami sama-sama bergegas menuju pintu utama. Meskipun saya belum pernah berkunjung ke Lapas, saya merasa ada atmosfer yang berbeda. Banyak orang yang menggunakan baju putih dan celana hitam, dan hal itu berbeda dengan yang saya lihat di TV, yaitu banyak petugas yang menggunakan seragam yang menunjukkan ketegasan dan kewibawaan. Ada apa ya?

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu khawatir untuk masuk ke dalam lapas karena saya yakin akan sistem penjagaan yang sangat ketat. Beberapa orang terlihat menunjukkan raut muka yang sedikit takut. Bagaimanapun, kita akan segera masuk ke dalam wilayah Lapas, bukan?

Sekitar pukul 09.20, pintu utama lapas dibuka, dan kami segera masuk satu persatu. Para petugas tidak memperbolehkan kami membawa Handphone, dompet, dan benda-benda asing yang mencurigakan, sehingga saya tidak dapat melakukan dokumentasi mengenai kegiatan ini (sebenarnya kamera boleh dibawa ke dalam lingkungan lapas, akan tetapi kamera saya tertinggal di Bandung). Setelah melalui rangkaian pemeriksaan, kami diperbolehkan masuk ke dalam lingkungan di dalam lapas.

Saya cukup terkejut melihat kondisi di dalam lapas. Lingkungan di dalam cukup asri dan layak huni, tidak seperti bayangan saya yang seram seperti di film. Di bagian depan terdapat taman, kantor lapas, aula, tempat parkir, masjid, dan gereja. Masjid di dalam lapas memiliki posisi berseberangan dengan gereja. Sayang sekali kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam lingkungan tempat para tahanan tinggal (terbukti dengan adanya pagar dan penjaga di depan lingkungan steril warga binaan), tetapi tidak masalah karena kami segera diarahkan oleh petugas untuk menuju ke gereja.

Gereja Yang Kecil
Kami disambut oleh warga binaan lapas (yang beragama Kristen-Katolik), bersalam-salaman dengan mengucapkan "Selamat Natal", dan masuk ke dalam ruangan dengan luas ruangan seluas lima puluh meter persegi yang dinamai gereja itu.

Jangan bayangkan gereja itu seperti gereja-gereja pada umumnya. Kami semua duduk lesehan beralaskan karpet. Di depan kami ada pohon natal, goa buatan yang kecil, dan sebuah meja yang pendek yang diatasnya terdapat salib. Ada satu keyboard yang berfungsi mengiringi orang-orang bernyanyi, sebuah papan tulis untuk menuliskan jadwal penggunaan gereja dan daftar lagu yang akan dinyanyikan, serta rak buku yang berisi buku-buku rohani. Setelah kami duduk, kami diberi buku-buku lagu. Ya, kami akan melakukan ibadat (yang dibawakan dengan cara komunitas namun lagu-lagu yang digunakan diganti menjadi lagu rohani yang dibawakan warga Lapas). Ibadat tersebut dipimpin oleh Kak Iwan, senior komunitas. 

Saat kami bernyanyi bersama, hati saya begitu terenyuh. Lagu-lagu itu tiba-tiba menjadi sedemikian indah dan mengena ketika dinyanyikan oleh para warga binaan. Saya merasakan di antara suara nyanyian yang bergema, terselip suara kerinduan mereka akan kasih Tuhan. Pada sesi doa umat, banyak warga binaan yang berani untuk mengungkapkan doa kerinduan akan kunjungan dari keluarga dan perlindungan Tuhan untuk keluarga. Kemudian salah satu warga binaan (seorang pemuda) menyampaikan permohonan agar ibuNya sembuh dari sakit. Hal itu sungguh mengharukan untuk saya, terutama terkadang saya masih lupa untuk mendoakan orang-orang yang berada di sekitar saya.

Sharing Warga Binaan Lapas 
Ibadat pun akhirnya selesai. Seorang ibu petugas lapas datang ke depan dan memberi sambutan untuk mengenalkan warga binaan kepada Komunitas Sant'Egidio serta sebaliknya. Ibu ini membuka sesi sharing dan mempersilahkan warga binaan untuk menyampaikan pengalamannya.

Kesaksian pertama datang dari seorang bapak yang terlihat seperti sudah memasuki masa pensiun, namun terlihat segar bugar. Beliau terlihat berwibawa dan kecerdasan beliau seperti terpancar melalui kewibawaannya. Bapak tersebut menceritakan bahwa dirinya harus "menetap" di dalam lapas karena membunuh istrinya. Beliau tidak menjelaskan alasan beliau melakukan hal tersebut, namun hal yang pasti adalah beliau sangat bersyukur bisa masuk diarahkan Tuhan masuk ke dalam lapas. Beliau menyadari bahwa seharusnya beliau duduk di teras rumah bersama anak dan cucu, namun beliau juga menyadari bahwa tinggal di dalam lapas adalah bagian dari proses transformasi yang luar biasa. Di dalam lapas, beliau mulai mempelajari Alkitab dan mengikuti kegiatan pendalaman kerohanian bersama seorang eks-warga binaan Lapas Cebongan yang dengan sukarela masih datang ke Cebongan.

Kesaksian kedua diceritakan seorang bapak yang berasal dari Jawa Tengah. Beliau bercerita bahwa kasus "menggelapkan" uang perusahaan menjadi alasan beliau berada di tempat tersebut. Beliau bercerita bahwa kenyamanan yang beliau peroleh ketika menjadi seorang pekerja tidak membuatnya bahagia dan puas diri, sehingga beliau memutuskan untuk melakukan hal tersebut tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi. Sebelum masuk ke dalam lapas, bapak tersebut sering sekali melupakan Tuhan yang begitu mencintainya. Akhirnya beliau mulai mendekat kembali kepadaNya dengan berdoa dan pendalaman rohani. Sembari meneteskan air mata, beliau mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam untuk bertemu dengan keluarganya, namun cinta Tuhan kepadaNya membuat bapak tersebut tetap tegar dalam menjalani kehidupan.

Kesaksian ketiga diceritakan oleh seorang pemuda asal daerah NTT, yang berumur sekitar 20-an tahun. Ketika disuruh bercerita, ia pun seperti malu-malu kucing, tetapi akhirnya ia mau mensharingkan pengalamannya. Aslinya pemuda tersebut datang ke Jogjakarta untuk mengenyam pendidikan, namun ia harus "mengenyam pendidikan" di "Institut Kehidupan" karena "tidak sengaja" mengambil barang yang bukan haknya. Ceritanya pada suatu saat dia diajak temannya untuk mendatangi sebuah toko di Jogjakarta. Setelah sampai di depan toko, tiba-tiba temannya segera menyergap pemilik toko dan mencuri beberapa barang. Ia pun "hanya mengambil parfum 1 dus dan rokok 70 slot". Ia masih menjadi buron ketika teman-temannya berhasil ditangkap. Akhirnya, dengan keyakinan teguh ia menyerahkan diri ke pihak berwenang. Pemuda ini adalah orang yang pada saat doa umat mendoakan ibunya agar cepat sembuh karena sedang sakit keras.

Kesaksian keempat datang dari seorang bapak berumur tanggung dan berbadan kekar, yang ditangkap karena memalak orang di Jakarta. Pada saat itu, beliau harus pulang ke NTT untuk menikah dengan seorang perempuan. Segala biaya telah beliau keluarkan untuk mempersiapkan pernikahan dan memberi uang kepada orangtua, namun sampai di suatu titik beliau tidak mempunyai uang untuk pulang kampung. Malu untuk meminta uang kembali kepada orangtua, beliau nekat untuk memalak pengendara motor yang sedang melintas. Korban pun cepat melaporkan kepada polisi, sehingga dua hari kemudian, beliau tertangkap di Bandara Soekarno Hatta. Beliau berpesan kepada kami agar jangan malu-malu untuk meminta kepada orangtua apabila sedang berada di dalam kesulitan.

Kesaksian kelima datang dari seorang pemuda asal Sumatera Utara. Awalnya, ia datang ke Jogjakarta untuk menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Jujur saja saya kurang menangkap cerita alasan pemuda ini, namun yang saya tangkap adalah bahwa ia harus "menginap" di Cebongan karena melakukan pelecehan seksual kepada pacarnya yang baru ia pacari selama seminggu. Betapa sedihnya ia karena sampai sekarang orangtuanya belum tahu bahwa ia harus masuk ke dalam lapas. Sudah sekian lama ia tidak berani menghubungi orangtuanya, dan ia malu untuk mengatakan segalanya (kemudian air mata keluar dan membasahi pipinya). Ia tidak mau orangtuanya bersedih karena permasalahan yang dihadapinya, terlebih faktanya ia adalah satu-satunya dari delapan bersaudara yang bisa melanjutkan kuliah. Sepupunya, yang sama-sama kuliah di universitas yang sama pun belum mengetahui kondisinya. Ia berpesan kepada kami untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan pergaulan dan komunikasi dengan teman-teman agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang menyesatkan.

(Mungkin pembaca bertanya-tanya mengapa yang memberi sharing adalah bapak-bapak ataupun pemuda. Berdasarkan penuturan salah satu petugas lapas, ibu-ibu dan pemudi warga binaan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirobrajan di Jogjakarta. Selain Cebongan dan Wirobrajan, ada satu lagi lapas yang berfungsi untuk rehabilitasi narkoba di Pakem, Sleman.)

Makan Siang Bersama
Setelah acara sharing, kami diarahkan untuk pindah ke aula untuk makan siang. Sebelum acara makan siang dimulai, salah satu petugas lapas mengumumkan semacam kategori-kategori pemenang hasil survey penilaian warga binaan terhadap petugas lapas. Kategorinya menarik, ada yang tergalak, terlucu, paling murah senyum, dan lain-lain. Hadiahnya pun besar-besar dan dibungkus dengan menarik seperti kado doorprize tujuhbelasan.

Selanjutnya terdapat sambutan yang disampaikan langsung oleh Kalapas Cebongan. Beliau sangat senang dengan kehadiran kami dan kemudian menjelaskan kepada kami mengapa semua petugas di Lapas Cebongan menggunakan pakaian hitam-putih. Kebetulan memang hari itu adalah hari terakhir di tahun 2015, sehingga para petugas menggunakan kesempatan ini untuk melakukan introspeksi dan rekonsiliasi atas kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun 2015. Setelah sambutan doa makan, kami pun langsung bergegas antri untuk makan. Tidak ada pemisahan antrian antara warga binaan dan kami. Kami semua berbaur dan bercakap-cakap dengan warga binaan. 

Orangtua saya duduk bersama dengan seorang bapak warga binaan yang sedang menyantap makanan. Bapak tersebut bercerita bahwa dulunya beliau pernah bekerja di suatu perusahaan BUMN dan merupakan lulusan salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama. Kehidupan beliau bisa dikatakan mapan. Permasalahan bermula ketika ada seorang teman yang menawarkan kerjasama pembelian tanah. Dengan trik tertentu temannya memutarbalikkan fakta bahwa beliau menggunakan uang temannya untuk membeli tanah, padahal beliau menggunakan uang pribadi. Dituduh melakukan penyelewengan dana, bapak ini akhirnya dijebloskan ke dalam lapas. Lebih parahnya, pengadilan memenangkan teman beliau sehingga kepemilikan tanah menjadi milik beliau.

Sungguh miris setelah mendapati kenyataan bahwa masih ada kasus hukum yang kurang diselesaikan dengan baik dan justru salah sasaran. Kasus salah sasaran tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Hal yang menjadi kontroversi adalah ketika tersangka harus menerima hukuman mati. Bagaimana jika ternyata setelah diusut tuntas ternyata orang tersebut tidak bersalah, padahal orang tersebut telah telanjur dieksekusi? Inilah yang menjadi perjuangan Komunitas Sant'Egidio untuk menolak hukuman mati. Suatu saat saya akan membahas dalam posting blog saya selanjutnya mengenai hukuman mati.

Penyerahan Kenang-kenangan di Akhir Acara Makan Siang Natal
(Dokumentasi Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta)

Epilog
Setelah makan siang, kami memberikan hadiah kepada masing-masing warga binaan. Hadiah-hadiahnya memang sederhana tapi sangat bermanfaat, seperti sabun, pasta gigi, dan lain-lain. Kami juga diberi kenang-kenangan berupa hasil keterampilan warga binaan (Katak dan tongkat yang terbuat dari kayu. Bila tongkat digosokkan ke badan katak, katak tersebut bisa menghasilkan suara yang mirip katak yang asli). Ternyata di dalam lapas, para warga binaan diajarkan untuk membuat suatu kreasi keterampilan, sehingga saat keluar nanti warga tersebut dapat mengembangkan bisnis berdasarkan keterampilannya.

Sekitar pukul 13.00, kami akhirnya pamit kepada warga binaan. Bapak yang pertama kali memberi sharing pengalaman mengucapkan terima kasih. Seorang bapak dari rombongan kami bertanya tentang apa yang akan dilakukan oleh bapak tersebut setelah keluar dari lapas. Beliau menjawab bahwa saya akan semakin mendalami kitab suci dan bergabung di dalam Gereja Evangelis. Kami mengamini, semoga cita-cita beliau tercapai.

Kesan dan Pesan
"Bapak sangat senang dapat diajak hadir di dalam kegiatan tersebut dan ini adalah pengalaman pertama kali masuk dan bisa melihat situasi di dalam lapas, serta bisa berinteraksi langsung dengan warga binaan. Saya merasa kagum karena banyak orang yang ketika keluar nanti ingin bergabung dengan Komunitas Sant'Egidio. Semoga kunjungan ini akan terus dilaksanakan secara berkelanjutan dalam bentuk ibadat di dalam lapas, sehingga para warga binaan akan semakin kuat di dalam iman."
(Bapak dari Penulis)

Kunjungan Makan Siang Natal di penghujung tahun 2015 sungguh luar biasa. Melalui kegiatan itu, saya merasakan betapa indahnya kehidupan yang Tuhan berikan. Semoga cerita ini memberikan pandangan baru mengenai lapas, warga binaan lapas, dan mengenai kehidupan kepada para pembaca, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan dengan begitu berharga.

Sabtu, 23 Januari 2016

Cerita: Natalan di Gereja Banteng dan Kegiatan Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta - Part 3

Cerita bagian ketiga ini akan saya susun menggunakan bahasa yang lebih resmi sebagai bagian dari laporan penyelenggaraan pesta Makan Siang Natal #MercyChristmas Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta


"Meskipun ini adalah acara Makan Siang Natal, acara ini jauh dari kata kristenisasi"

Saya dan Anggi, sahabat saya, tiba di Gereja Paroki Santa Maria Assumpta, Babarsari, pada tanggal 25 Desember 2015 jam 10.35, cukup tepat waktu. Kami segera bergegas masuk ke dalam halaman gereja. Tenda dan meja sudah diatur sejak malam sebelumnya, dan semua bersukaria dalam menyambut tamu-tamu istimewa. Jangan bayangkan presiden atau walikota yang datang. Bukan. Mereka yang datang adalah anak-anak jalanan yang ditemukan di seantero Jogjakarta bagian utara, suster-suster, romo-romo yang telah sepuh, anak-anak panti asuhan, sahabat sekolah damai, beberapa kakek nenek dari beberapa rumah lansia, bahkan ada sahabat-sahabat kami dari pondok pesantren. Kami semua berupaya merayakan kasih dan semangat Natal yang telah diberikan oleh Tuhan dengan cara semangat melayani mereka. Visi kami adalah membuat mereka merasa menjadi tuan dan nyonya yang terhormat dalam pesta kali ini. 

Sekadar gambaran untuk para pembaca, Makan Siang Natal telah diselenggarakan oleh Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta sejak 2008, sedangkan Babarsari telah menjadi venue pada tahun 2014 dan 2015. Dalam pesta tersebut kami menyediakan meja yang sudah diberi nomer dan telah ditata rapi, kemudian meja tersebut dikelilingi sekitar 12-25 kursi. Di atas meja tersebut terdapat secarik kertas yang berisikan daftar menu. Ya, mirip sekali seperti di restoran.

Daftar Menu Makanan dan Nomer Meja
(Photo by Anggi)

Hiasan Bunga dan Daftar Menu Makanan, Bagaikan di Restoran!
(Photo by Anggi)

Awalnya kami diarahkan oleh teman-teman komunitas untuk pergi ke belakang gereja dan bertemu dengan koordinator panitia lapangan (panlap). Kami dibriefing untuk beberapa saat, diantaranya untuk penempatan tugas volunteer dan apa saja yang harus dilakukan. Pada dasarnya ada dua peran volunteer, yang pertama membawakan makanan dan yang kedua adalah standby di meja tamu dan menyambut para tamu. Saya berperan sebagai pembawa makanan (runner), sedangkan Anggi berperan sebagai penerima tamu. Kami ditempatkan di meja yang sama, yaitu meja nomer 20. Selain kedua tugas tersebut, ada juga sahabat komunitas yang berperan untuk mendampingi tamu.

Briefing Volunteer
(Photo by Sham Ambrosius)

Para Tamu Melakukan Registrasi
(Photo by Sham Ambrosius)

Kondisi Meja yang Digunakan untuk Acara Makan Siang Natal
(Photo by Anggi)

Tamu-tamu Spesial Kami Mulai Berdatangan, Ayo Bersiap untuk Menyambut Mereka!
(Photo by Anggi)

Salah Satu Kelompok Tamu Spesial Kami, dari Rumah Lansia Parada Padudan
(Photo by Anggi)

Sementara para tamu berdatangan, saya dan teman-teman pembawa makanan lainnya segera bergegas ke belakang untuk mengambil makanan. Sajian pembuka yang dibawa ke meja-meja adalah snack roti dan teh hangat. Di meja saya, Anggi mulai membagi-bagikan makanan dengan sigap. Tampak mereka yang hadir di tempat itu berbahagia untuk dapat mengikuti acara ini. Sembari menunggu tugas membawa makanan selanjutnya, kami mulai bercakap-cakap dengan beberapa ibu-ibu dan anak-anak.

Seorang Suster Duduk Bersama Para Tamu dan Menikmati Hidangan Pembuka

Suasana Panoramik Acara Makan Siang Natal

Rangkaian acara pun dimulai dengan doa pembukaan yang dibawakan secara Katolik, dan dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, dan pemberian hadiah kepada yang berulang tahun. Ternyata salah seorang anak di meja saya berulang tahun, namun saya lupa siapa namanya. Selanjutnya, para pembawa makanan segera bergegas ke belakang untuk menghidangkan menu utama.

Menu utama yang kami hidangkan kali ini adalah nasi, ikan fillet, ayam kecap, soto/sup manten, tahu/tempe, dan capcay, beserta air mineral. Awalnya saya cukup lelah untuk pergi dari belakang gereja ke meja saya, namun lama kelamaan saya mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. Terlihat bahwa acara Makan Siang Natal ini sudah sangat terorganisasi dengan baik, sehingga tidak menyulitkan kami untuk mobilisasi. 

Acara makan siang diawali dengan doa yang dibawakan secara Islam. Menurut saya, ini adalah cerminan toleransi yang luar biasa, bahwa meskipun agama yang kita yakini berbeda, kita adalah sesama manusia yang saling membutuhkan satu sama lain. Meskipun ini adalah acara Makan Siang Natal, acara ini jauh dari kegiatan kristenisasi. Makan Siang Natal di sini mempunyai arti bahwa kita menyebarkan semangat natal (semangat untuk lahir kembali) dan berbagi sukacita kepada sesama.

Akhirnya acara makan siang dimulai, dan semua orang bergegas mengambil makanan dengan senyum dan canda. Semua orang makan makanan dengan lahap. Tak lama, sajian yang kami hidangkan langsung habis. Sungguh luar biasa! Sembari semua tamu menyantap hidangan, di depan panggung terdapat beberapa hiburan menarik yang dibawakan oleh beberapa orang.

Melayani Sebagai Pondasi Penting Komunitas
(Photo by Sham Ambrosius)

Para Volunteer Bertugas Melayani
(Photo by Sham Ambrosius)

Selanjutnya hidangan penutup mulai dibagikan, yaitu sup buah. Sembari menyantap sup buah, beberapa kelompok mulai mengisi acara di panggung, seperti anak-anak sekolah damai dan pengamen bersuara emas yang membawakan beberapa lagu menarik.

Penampilan Anak-anak yang Sedang Menyanyi Bersama
(Sebenarnya Mereka Sedang Menyanyikan Lagu "Jangan Menyerah")

Penampilan Menyanyi
(Photo by Sham Ambrosius)

Sebagai penutup rangkaian acara Makan Siang Natal, setiap orang mendapatkan hadiah Natal yang tentunya mengesankan. Misalnya, anak-anak mendapatkan hadiah snack ataupun ibu-ibu yang mendapatka hadiah alat-alat kebutuhan rumah tangga. So simple as that but precious!

Akhirnya, saya dan Anggi makan siang bersama sahabat-sahabat volunteer (jadi sebenarnya saat rangkaian acara makan siang, kami semua standby untuk mempersiapkan hidangan untuk para tamu, sehingga kami belum makan). Selanjutnya, kami berfoto bersama beberapa sahabat komunitas, sebelum akhirnya pamit undur diri untuk balik ke kota asal kami. Melalui acara ini, saya menyadari ternyata tidak mudah untuk menjadi seorang pelayan. Meskipun begitu, rasa lelah yang menghinggap tidak sebanding dengan sukacita yang kami dapatkan, dan semoga kami akan terus semangat untuk menyebarkan sukacita kepada sesama kami.

Anggi Bersama Sahabat-sahabat Komunitas. Tebak Saya yang Mana!

Terima kasih saya ucapkan kepada orang tua, sahabat-sahabat Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta, Romo dan warga Paroki Babarsari (komunitas lektor dan OMK), Kak Ucu Jonathan, dan sahabat saya, Sesilia Anggi, yang terlibat dalam kegiatan ini. 
Spirit, Sant'Egidio, Spirit!

Cerita: Natalan di Gereja Banteng dan Kegiatan Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta - Part 2

Saya dan Anggi terkejut ketika berada di Gereja Banteng. Ada apa ya?

Sepanjang jalan dari pagar sampai pintu gereja, kami tidak begitu sadar kalau ada dua misa kategorial yang dilaksanakan pada jam 08.00, yaitu misa anak-anak dan misa dewasa. Ternyata kami menuju gereja tempat dilangsungkannya misa anak-anak! Wow! Meskipun wajah kami masih imut-imut dan masih "kecil", tetap saja kami bingung hehehe. Kami pun terpaku di depan gereja, sampai seorang ibu nyeletuk "Sudah masuk saja, ndak papa tho kita kembali ke masa kecil dulu." Akhirnya dengan sangat yakin kami masuk ke dalam. Baru saja masuk ke dalam dan mendapat tempat duduk, kami berdua disuguhi pemandangan luar biasa.

Orkestra Anak-anak Banteng, eh Maksudnya Gereja Banteng

Selanjutnya misa dimulai jam 08.00, dan diiringi koor anak-anak. Sayang organisnya orang dewasa. Ya kali! Banyak pemandangan unusual yang kami temukan di tempat ini, contohnya romo/pasturnya yang seperti Didi Kempot dan pakai topi sinterklas. Hehehe, saya kira mau konser, eh ternyata memang mau memimpin misa. Tidak lupa juga terdapat visualisasi kelahiran Yesus Kristus yang dilakukan oleh anak-anak Gereja Banteng. Sepertinya seluruh anak-anak di Gereja Banteng, baik yang drama maupun yang koor, telah mempersiapkan segalanya sedemikian baik, sehingga mereka tampil prima dalam perayaan Natal ini.


Visualisasi Kelahiran Yesus Kristus oleh Anak-anak Gereja Banteng
(Photo by Anggi)

Homili pun tidak kalah menarik, romo ini melakukan pendekatan yang luar biasa terhadap anak-anak. Romo mulai bertanya kepada anak-anak mengenai pertanyaan seputar Natal (yang saya yakin semua orang dewasa bisa menjawab). Anak yang bisa menjawab disuruh romo untuk maju ke depan sekaligus memperkenalkan diri. Tiba-tiba ada sinterklas datang dari Finland.....ndeso dan membawa sekantung hadiah. Yeay! Semua anak yang berada di depan bergembira. 

Anak-anak Sangat Antusias untuk Menjawab Pertanyaan dari Romo

Sinterklas dari Finland tapi Ndeso Membagikan Hadiah untuk Anak-anak

Kami yang notabene orang dewasa "tapi masih kecil" juga ikut merasakan kebahagiaan suasana yang terjalin dalam perayaan misa Natal. Sungguh perayaan yang luar biasa! Saya begitu tersentuh dengan adanya perayaan Natal ini dan berharap perayaan ini juga bisa berlangsung di setiap gereja. Oh ya, sekadar mengingatkan, jadi Gereja Banteng ini juga merupakan gereja skolastikat ordo MSF (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia) yang merupakan salah satu ordo yang aktif berkarya di Keuskupan Agung Semarang. Biasanya para frater (calon romo) belajar di tempat ini untuk mempersiapkan dirinya menuju ke jenjang berikutnya. Oleh karena itu tidak salah bahwa di tempat ini juga terdapat sebuah patung pendiri ordo MSF, yaitu Pastur Jean-Baptiste Berthier.

Patung Pastur Jean-Baptiste Berthier

Selepas misa, kami segera bergegas menuju Gereja Babarsari yang merupakan tempat diselenggarakannya acara Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta. Kami akhirnya tiba di tempat tersebut sekitar pukul 10.35. Mau tahu keseruan apa yang kami lakukan di sana?

Nantikan Cerita: Natalan di Gereja Banteng dan Kegiatan Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta - Part 3!