Berikut ini adalah resume yang saya buat mengenai Kegiatan Komunitas Sant'Egidio seluruh Indonesia yang diadakan di Jakarta, 12-15 November 2015.
“Kebahagiaan
Injil adalah memberikan kebahagiaan pada orang lain. Kebahagiaan harus
dibagikan kepada orang yang membutuhkan.”(Andrea Riccardi, pendiri Komunitas
Sant’Egidio)
Banyak orang Katolik, terutama di
Indonesia, yang belum pernah mengetahui keberadaan komunitas Sant’Egidio. Hal
itu cukup wajar bagi kami, karena kami pun baru mengenal komunitas ini beberapa
bulan yang lalu. Komunitas Sant’Egidio adalah komunitas yang dibentuk pada
tahun oleh Andrea Riccardi, seorang professor sejarah kontemporer Italia, yang
telah diakui oleh Gereja Katolik sebagai komunitas pelayanan.
Pada tahun 1968, seorang remaja bernama
Andrea Riccardi mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan teman-teman untuk
mendengarkan dan melaksanakan Injil, mengacu pada kehidupan komunitas Kristen
pertama dan kehidupan Santo Fransiskus Asisi. Kemudian kelompok pemuda ini
mulai mengunjungi barak-barak di pinggiran Roma, Italia, dan membangun sekolah
damai untuk mengajar anak-anak di sore hari. Sejak saat itu komunitas pun mulai
berkembang menjadi beranggotakan 50.000 orang di 70 negara, termasuk di
Indonesia.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
komunitas ini adalah berdoa, membaca kitab suci, pelayanan terhadap orang yang
membutuhkan, komitmen pada ekumenisme, dan melakukan forum dialog antar agama.
Orang yang tidak mampu secara finansial menjadi pusat pelayanan komunitas ini.
Dalam melahirkan semangat baru kembali
bagi Komunitas Sant’Egidio di Indonesia, maka dibentuklah acara bertajuk “Kegembiraan Injil di Indonesia” pada
12-15 November 2015, yang diikuti oleh anggota-anggota komunitas yang berasal
dari berbagai tempat di Indonesia. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Andrea
Riccardi, yang terakhir datang ke Indonesia pada tahun 1999 dalam rangka
pembentukan Komunitas Sant’Egidio di Padang. Kedatangan Andrea Riccardi pada
tanggal 13 November di Aula SMP Santa Maria Jakarta disambut dengan meriah oleh
setiap anggota dengan menyanyikan lagu Hymne Komunitas.
Dalam penuturannya, Andrea mengatakan
bahwa semua orang adalah murid “Sekolah Yesus”. Oleh karena itu, hendaknya kita
rajin untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan berdoa setiap hari. Andrea
menganalogikan setiap pribadi manusia yang memikirkan diri sendiri sebagai
“pulau yang terpencil”. Komunitas memiliki peran sebagai “jembatan” untuk
menghubungkan “pulau-pulau” tersebut. Dalam Matius 10:39-40, dikatakan “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan
kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan
memperolehnya.” Melalui injil ini, Tuhan ingin menyampaikan kepada kita
untuk tidak memikirkan diri sendiri, namun bersama-sama membangun “jembatan”
yang menghubungkan “pulau-pulau”. memberikan ruang terhadap diri sendiri dan orang
lain, termasuk orang-orang yang tidak mampu. Inilah yang harus menjadi dasar
misi Injil komunitas. Meskipun perjuangan tersebut cukup berat, hendaknya kita tetap
patuh kepada Allah dan meyakini bahwa usaha ini akan berhasil pada waktunya. Hal
yang ditekankan oleh Andrea adalah bahwa kebahagiaan tidak mungkin dimiliki
oleh diri sendiri, namun ia akan berbuah jika dibagikan kepada orang lain.
Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa
orang yang tidak mampu adalah sakramen Kristus, di mana Yesus hadir melalui
wajah mereka. Hendaknya kita menjunjung prinsip kesetaraan, misalnya dengan
memanggil nama mereka.
Kita semua hendaknya memiliki peran
nyata di masyarakat dalam membagikan damai, membangun kehidupan doa, dan
menjalin persahabatan dengan orang lain sebagai suatu pekerjaan. Damai, menurut
Andrea, memiliki arti hidup bersama orang yang memiliki latar belakang yang
berbeda. Jangan pernah melibatkan senjata fisik dalam menyelesaikan
permasalahan dunia, karena kita telah mempunyai doa sebagai “senjata yang
menghidupkan”.
Selanjutnya, pada hari Sabtu, 14
November 2015, dalam meneguhkan peran menghidupkan dialog antara agama, Komunitas
Sant’Egidio bersama dengan Center for
Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) dan MPR-RI mengadakan
forum bertajuk “Interfaith Dialogue For
Peace And Coexistence” yang diselenggarkan di Gedung Nusantara V Jakarta.
Acara tersebut dihadiri oleh Pendiri Komunitas Sant’Egidio, Andrea Riccardi,
Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin. Selain
itu turut hadir beberapa tokoh agama diantaranya Prof. Dr. Syafiq A. Mughni (PP
Muhammadiyah), Uung Sendana (Matakin), Dr. Albertus Putti (PGI), Maha Pandita
Utama Suhadi Sendjaja (Walubi), Nyoman Udayana Sangging (PHDI), dan Romo Agus
(KWI).
Andrea Riccardi, melalui pidatonya,
mengungkapkan rasa kagumnya terhadap Indonesia terutama bahwa negara ini mampu
melalui krisis-krisis menyangkut agama melalui Ideologi Pancasila. Pada saat
ini sering terjadi aksi terorisme sering mengatasnamakan agama, namun
kenyataannya terorisme adalah ideologi yang menghina nama Allah. Agama adalah
sumber damai, sehingga terorisme harus disingkirkan dari nama agama, misalnya
melalui dialog antar agama. Selain itu, Andrea juga menekankan penolakan
hukuman mati dan perang, karena tidak ada agama yang mendukung pembunuhan
sebagai metode pembentukan damai. Perang adalah induk dari kemiskinan,
sedangkan damai adalah induk dari perkembangan. Dialog tidak hanya dalam bentuk
diskusi semata, namun merupakan sebuah proses yang membutuhkan kesetiaan dan
teman seperjalanan, sehingga keberadaannya penting dan akan terus dilakukan.
Melalui diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam ini, dapat disimpulkan bahwa:
- Pemuka
agama mempunyai peran untuk memberikan pemahaman tentang dialog antar-agama
- Dialog
dapat disebarluaskan melalui keluarga
- Dialog
berperan sebagai kerjasama konkret dalam pemuliaan bumi.
(Sumber pustaka: santegidio.org)