Senin, 25 Januari 2016

Cerita: Natalan di Gereja Banteng dan Kegiatan Makan Siang Natal Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta - Part 4 (Last)

Tidak hanya berhenti di situ saja. Ternyata masih ada makan siang lanjutan.


"Hari ini kita nyatakan
Tuk yang cari arti hidup
Dimana lebih manusiawi
Selalu bersama dengan Dia"
(Hymne Komunitas Sant'Egidio)

Kak Siska (sahabat komunitas Sant'Egidio Jogjakarta) berkata kepada kami bahwa Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta mengadakan Makan Siang Natal (MSN) yang kedua pada tanggal 31 Desember 2015. Ya, akhir tahun. Tempatnya pun tidak tanggung-tanggung dan spesial. Mungkin Anda masih ingat Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman dan kasus penyerangan pada bulan Maret 2013. Tetapi saya di sini tidak ingin menceritakan masa lalu tersebut. Saya ingin membagikan pengalaman kepada para pembaca mengenai MSN di Cebongan. MSN di Lapas Cebongan ini adalah yang kedua kalinya, yang pertama diselenggarakan tahun 2013.

Menjemput Kemanusiaan
Jika diajak berpikir tentang Lembaga Pemasyarakatan, maka yang terlintas di pikirannya mungkin adalah tidak nyaman, berbahaya, keamanan sangat ketat, tempat yang sangat ingin dihindari, dan lain-lain. Gambaran-gambaran ini sebagian ada yang benar, namun juga ada yang salah. Saya ingin menceritakan bahwa tidak selamanya lapas adalah hal yang harus dihindari (bukan dalam arti berbuat kejahatan - jelas bahwa kita harus menghindari berbuat jahat supaya tidak masuk lapas), karena lapas sebenarnya adalah tempat untuk memanusiakan manusia, tempat untuk mengembalikan orang yang telah terjebak dalam dunia kejahatan agar nanti ia tidak akan kembali terjerumus kembali. 

Jika diusut kembali, sebenarnya para warga binaan selalu menginginkan adanya interaksi dengan warga di luar lapas. Hal itu sangat wajar karena bagaimanapun berada di dalam lapas membuat orang terkungkung dari dunia luar. Saya mempunyai harapan agar banyak orang mau untuk sering berkunjung ke dalam lapas dan mau berinteraksi dengan mereka. Menemui warga binaan akan membuat mereka merasa masih dirindukan orang-orang di luar dan membuat mereka menilai diri sendiri tetap berharga. Inilah yang sebenarnya bisa kita lakukan sebagai warga sipil yang baik, yang lebih senang saya sebut sebagai menjemput kemanusiaan.

31 Desember 2015
Masuk Ke Dalam Lapas
Jam 06.30, saya dan orangtua berangkat menuju Jogjakarta. Kali ini sahabat saya, Anggi, memutuskan tidak ikut. Kami tiba di Cebongan pada pukul 08.15, dan menunggu kehadiran sahabat Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta selama satu jam. Sembari menunggu, saya menemani orangtua untuk makan di sebuah kantin yang berada di dalam kompleks Lapas. Selanjutnya, setelah mereka datang (tidak banyak yang datang, hanya sekitar 20 orang), sekitar pukul 09.15, kami sama-sama bergegas menuju pintu utama. Meskipun saya belum pernah berkunjung ke Lapas, saya merasa ada atmosfer yang berbeda. Banyak orang yang menggunakan baju putih dan celana hitam, dan hal itu berbeda dengan yang saya lihat di TV, yaitu banyak petugas yang menggunakan seragam yang menunjukkan ketegasan dan kewibawaan. Ada apa ya?

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu khawatir untuk masuk ke dalam lapas karena saya yakin akan sistem penjagaan yang sangat ketat. Beberapa orang terlihat menunjukkan raut muka yang sedikit takut. Bagaimanapun, kita akan segera masuk ke dalam wilayah Lapas, bukan?

Sekitar pukul 09.20, pintu utama lapas dibuka, dan kami segera masuk satu persatu. Para petugas tidak memperbolehkan kami membawa Handphone, dompet, dan benda-benda asing yang mencurigakan, sehingga saya tidak dapat melakukan dokumentasi mengenai kegiatan ini (sebenarnya kamera boleh dibawa ke dalam lingkungan lapas, akan tetapi kamera saya tertinggal di Bandung). Setelah melalui rangkaian pemeriksaan, kami diperbolehkan masuk ke dalam lingkungan di dalam lapas.

Saya cukup terkejut melihat kondisi di dalam lapas. Lingkungan di dalam cukup asri dan layak huni, tidak seperti bayangan saya yang seram seperti di film. Di bagian depan terdapat taman, kantor lapas, aula, tempat parkir, masjid, dan gereja. Masjid di dalam lapas memiliki posisi berseberangan dengan gereja. Sayang sekali kami tidak diperbolehkan masuk ke dalam lingkungan tempat para tahanan tinggal (terbukti dengan adanya pagar dan penjaga di depan lingkungan steril warga binaan), tetapi tidak masalah karena kami segera diarahkan oleh petugas untuk menuju ke gereja.

Gereja Yang Kecil
Kami disambut oleh warga binaan lapas (yang beragama Kristen-Katolik), bersalam-salaman dengan mengucapkan "Selamat Natal", dan masuk ke dalam ruangan dengan luas ruangan seluas lima puluh meter persegi yang dinamai gereja itu.

Jangan bayangkan gereja itu seperti gereja-gereja pada umumnya. Kami semua duduk lesehan beralaskan karpet. Di depan kami ada pohon natal, goa buatan yang kecil, dan sebuah meja yang pendek yang diatasnya terdapat salib. Ada satu keyboard yang berfungsi mengiringi orang-orang bernyanyi, sebuah papan tulis untuk menuliskan jadwal penggunaan gereja dan daftar lagu yang akan dinyanyikan, serta rak buku yang berisi buku-buku rohani. Setelah kami duduk, kami diberi buku-buku lagu. Ya, kami akan melakukan ibadat (yang dibawakan dengan cara komunitas namun lagu-lagu yang digunakan diganti menjadi lagu rohani yang dibawakan warga Lapas). Ibadat tersebut dipimpin oleh Kak Iwan, senior komunitas. 

Saat kami bernyanyi bersama, hati saya begitu terenyuh. Lagu-lagu itu tiba-tiba menjadi sedemikian indah dan mengena ketika dinyanyikan oleh para warga binaan. Saya merasakan di antara suara nyanyian yang bergema, terselip suara kerinduan mereka akan kasih Tuhan. Pada sesi doa umat, banyak warga binaan yang berani untuk mengungkapkan doa kerinduan akan kunjungan dari keluarga dan perlindungan Tuhan untuk keluarga. Kemudian salah satu warga binaan (seorang pemuda) menyampaikan permohonan agar ibuNya sembuh dari sakit. Hal itu sungguh mengharukan untuk saya, terutama terkadang saya masih lupa untuk mendoakan orang-orang yang berada di sekitar saya.

Sharing Warga Binaan Lapas 
Ibadat pun akhirnya selesai. Seorang ibu petugas lapas datang ke depan dan memberi sambutan untuk mengenalkan warga binaan kepada Komunitas Sant'Egidio serta sebaliknya. Ibu ini membuka sesi sharing dan mempersilahkan warga binaan untuk menyampaikan pengalamannya.

Kesaksian pertama datang dari seorang bapak yang terlihat seperti sudah memasuki masa pensiun, namun terlihat segar bugar. Beliau terlihat berwibawa dan kecerdasan beliau seperti terpancar melalui kewibawaannya. Bapak tersebut menceritakan bahwa dirinya harus "menetap" di dalam lapas karena membunuh istrinya. Beliau tidak menjelaskan alasan beliau melakukan hal tersebut, namun hal yang pasti adalah beliau sangat bersyukur bisa masuk diarahkan Tuhan masuk ke dalam lapas. Beliau menyadari bahwa seharusnya beliau duduk di teras rumah bersama anak dan cucu, namun beliau juga menyadari bahwa tinggal di dalam lapas adalah bagian dari proses transformasi yang luar biasa. Di dalam lapas, beliau mulai mempelajari Alkitab dan mengikuti kegiatan pendalaman kerohanian bersama seorang eks-warga binaan Lapas Cebongan yang dengan sukarela masih datang ke Cebongan.

Kesaksian kedua diceritakan seorang bapak yang berasal dari Jawa Tengah. Beliau bercerita bahwa kasus "menggelapkan" uang perusahaan menjadi alasan beliau berada di tempat tersebut. Beliau bercerita bahwa kenyamanan yang beliau peroleh ketika menjadi seorang pekerja tidak membuatnya bahagia dan puas diri, sehingga beliau memutuskan untuk melakukan hal tersebut tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi. Sebelum masuk ke dalam lapas, bapak tersebut sering sekali melupakan Tuhan yang begitu mencintainya. Akhirnya beliau mulai mendekat kembali kepadaNya dengan berdoa dan pendalaman rohani. Sembari meneteskan air mata, beliau mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam untuk bertemu dengan keluarganya, namun cinta Tuhan kepadaNya membuat bapak tersebut tetap tegar dalam menjalani kehidupan.

Kesaksian ketiga diceritakan oleh seorang pemuda asal daerah NTT, yang berumur sekitar 20-an tahun. Ketika disuruh bercerita, ia pun seperti malu-malu kucing, tetapi akhirnya ia mau mensharingkan pengalamannya. Aslinya pemuda tersebut datang ke Jogjakarta untuk mengenyam pendidikan, namun ia harus "mengenyam pendidikan" di "Institut Kehidupan" karena "tidak sengaja" mengambil barang yang bukan haknya. Ceritanya pada suatu saat dia diajak temannya untuk mendatangi sebuah toko di Jogjakarta. Setelah sampai di depan toko, tiba-tiba temannya segera menyergap pemilik toko dan mencuri beberapa barang. Ia pun "hanya mengambil parfum 1 dus dan rokok 70 slot". Ia masih menjadi buron ketika teman-temannya berhasil ditangkap. Akhirnya, dengan keyakinan teguh ia menyerahkan diri ke pihak berwenang. Pemuda ini adalah orang yang pada saat doa umat mendoakan ibunya agar cepat sembuh karena sedang sakit keras.

Kesaksian keempat datang dari seorang bapak berumur tanggung dan berbadan kekar, yang ditangkap karena memalak orang di Jakarta. Pada saat itu, beliau harus pulang ke NTT untuk menikah dengan seorang perempuan. Segala biaya telah beliau keluarkan untuk mempersiapkan pernikahan dan memberi uang kepada orangtua, namun sampai di suatu titik beliau tidak mempunyai uang untuk pulang kampung. Malu untuk meminta uang kembali kepada orangtua, beliau nekat untuk memalak pengendara motor yang sedang melintas. Korban pun cepat melaporkan kepada polisi, sehingga dua hari kemudian, beliau tertangkap di Bandara Soekarno Hatta. Beliau berpesan kepada kami agar jangan malu-malu untuk meminta kepada orangtua apabila sedang berada di dalam kesulitan.

Kesaksian kelima datang dari seorang pemuda asal Sumatera Utara. Awalnya, ia datang ke Jogjakarta untuk menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi. Jujur saja saya kurang menangkap cerita alasan pemuda ini, namun yang saya tangkap adalah bahwa ia harus "menginap" di Cebongan karena melakukan pelecehan seksual kepada pacarnya yang baru ia pacari selama seminggu. Betapa sedihnya ia karena sampai sekarang orangtuanya belum tahu bahwa ia harus masuk ke dalam lapas. Sudah sekian lama ia tidak berani menghubungi orangtuanya, dan ia malu untuk mengatakan segalanya (kemudian air mata keluar dan membasahi pipinya). Ia tidak mau orangtuanya bersedih karena permasalahan yang dihadapinya, terlebih faktanya ia adalah satu-satunya dari delapan bersaudara yang bisa melanjutkan kuliah. Sepupunya, yang sama-sama kuliah di universitas yang sama pun belum mengetahui kondisinya. Ia berpesan kepada kami untuk berhati-hati dalam menjalin hubungan pergaulan dan komunikasi dengan teman-teman agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang menyesatkan.

(Mungkin pembaca bertanya-tanya mengapa yang memberi sharing adalah bapak-bapak ataupun pemuda. Berdasarkan penuturan salah satu petugas lapas, ibu-ibu dan pemudi warga binaan dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wirobrajan di Jogjakarta. Selain Cebongan dan Wirobrajan, ada satu lagi lapas yang berfungsi untuk rehabilitasi narkoba di Pakem, Sleman.)

Makan Siang Bersama
Setelah acara sharing, kami diarahkan untuk pindah ke aula untuk makan siang. Sebelum acara makan siang dimulai, salah satu petugas lapas mengumumkan semacam kategori-kategori pemenang hasil survey penilaian warga binaan terhadap petugas lapas. Kategorinya menarik, ada yang tergalak, terlucu, paling murah senyum, dan lain-lain. Hadiahnya pun besar-besar dan dibungkus dengan menarik seperti kado doorprize tujuhbelasan.

Selanjutnya terdapat sambutan yang disampaikan langsung oleh Kalapas Cebongan. Beliau sangat senang dengan kehadiran kami dan kemudian menjelaskan kepada kami mengapa semua petugas di Lapas Cebongan menggunakan pakaian hitam-putih. Kebetulan memang hari itu adalah hari terakhir di tahun 2015, sehingga para petugas menggunakan kesempatan ini untuk melakukan introspeksi dan rekonsiliasi atas kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun 2015. Setelah sambutan doa makan, kami pun langsung bergegas antri untuk makan. Tidak ada pemisahan antrian antara warga binaan dan kami. Kami semua berbaur dan bercakap-cakap dengan warga binaan. 

Orangtua saya duduk bersama dengan seorang bapak warga binaan yang sedang menyantap makanan. Bapak tersebut bercerita bahwa dulunya beliau pernah bekerja di suatu perusahaan BUMN dan merupakan lulusan salah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama. Kehidupan beliau bisa dikatakan mapan. Permasalahan bermula ketika ada seorang teman yang menawarkan kerjasama pembelian tanah. Dengan trik tertentu temannya memutarbalikkan fakta bahwa beliau menggunakan uang temannya untuk membeli tanah, padahal beliau menggunakan uang pribadi. Dituduh melakukan penyelewengan dana, bapak ini akhirnya dijebloskan ke dalam lapas. Lebih parahnya, pengadilan memenangkan teman beliau sehingga kepemilikan tanah menjadi milik beliau.

Sungguh miris setelah mendapati kenyataan bahwa masih ada kasus hukum yang kurang diselesaikan dengan baik dan justru salah sasaran. Kasus salah sasaran tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Hal yang menjadi kontroversi adalah ketika tersangka harus menerima hukuman mati. Bagaimana jika ternyata setelah diusut tuntas ternyata orang tersebut tidak bersalah, padahal orang tersebut telah telanjur dieksekusi? Inilah yang menjadi perjuangan Komunitas Sant'Egidio untuk menolak hukuman mati. Suatu saat saya akan membahas dalam posting blog saya selanjutnya mengenai hukuman mati.

Penyerahan Kenang-kenangan di Akhir Acara Makan Siang Natal
(Dokumentasi Komunitas Sant'Egidio Jogjakarta)

Epilog
Setelah makan siang, kami memberikan hadiah kepada masing-masing warga binaan. Hadiah-hadiahnya memang sederhana tapi sangat bermanfaat, seperti sabun, pasta gigi, dan lain-lain. Kami juga diberi kenang-kenangan berupa hasil keterampilan warga binaan (Katak dan tongkat yang terbuat dari kayu. Bila tongkat digosokkan ke badan katak, katak tersebut bisa menghasilkan suara yang mirip katak yang asli). Ternyata di dalam lapas, para warga binaan diajarkan untuk membuat suatu kreasi keterampilan, sehingga saat keluar nanti warga tersebut dapat mengembangkan bisnis berdasarkan keterampilannya.

Sekitar pukul 13.00, kami akhirnya pamit kepada warga binaan. Bapak yang pertama kali memberi sharing pengalaman mengucapkan terima kasih. Seorang bapak dari rombongan kami bertanya tentang apa yang akan dilakukan oleh bapak tersebut setelah keluar dari lapas. Beliau menjawab bahwa saya akan semakin mendalami kitab suci dan bergabung di dalam Gereja Evangelis. Kami mengamini, semoga cita-cita beliau tercapai.

Kesan dan Pesan
"Bapak sangat senang dapat diajak hadir di dalam kegiatan tersebut dan ini adalah pengalaman pertama kali masuk dan bisa melihat situasi di dalam lapas, serta bisa berinteraksi langsung dengan warga binaan. Saya merasa kagum karena banyak orang yang ketika keluar nanti ingin bergabung dengan Komunitas Sant'Egidio. Semoga kunjungan ini akan terus dilaksanakan secara berkelanjutan dalam bentuk ibadat di dalam lapas, sehingga para warga binaan akan semakin kuat di dalam iman."
(Bapak dari Penulis)

Kunjungan Makan Siang Natal di penghujung tahun 2015 sungguh luar biasa. Melalui kegiatan itu, saya merasakan betapa indahnya kehidupan yang Tuhan berikan. Semoga cerita ini memberikan pandangan baru mengenai lapas, warga binaan lapas, dan mengenai kehidupan kepada para pembaca, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan dengan begitu berharga.

1 komentar:

  1. Bagi bapak ibu yang sedang mencari tempat Retreat, saya Rekomendasikan Villa Bukit Pinus, tepatnya di daerah Pancawati, Kamarnya sudah AC, Water Heather, dan Free Wifi,, untuk info lebih lanjut hubungi marketing Ayu :085773381617

    BalasHapus